Pengacara dan Petani Tua
Seorang pengacara kota besar pergi berburu burung di sebuah pedesaan. Dia menembak dan menjatuhkan seekor burung, tapi jatuh ke dalam ladang petani yang dikelilingi pagar. Ketika pengacara tersebut naik melewati pagar, seorang petani tua mendekat dan bertanya kepadanya apa yang sedang dilakukannya.
Si pengacara menjawab, "Saya menembak seekor burung dan terjatuh di ladang ini, dan sekarang saya akan mengambilnya kembali."
Petani tua itu menjawab, "Ini ladang milik saya, dan Anda tidak boleh masuk ke sini."
Pengacara yang marah itu berkata, "Saya adalah salah satu pengacara terbaik di Indonesia, dan jika Anda tidak membiarkan saya mendapatkan burung itu, saya akan menuntut Anda dan mengambil semua yang Anda miliki."
Petani tua itu tersenyum dan berkata, "Rupanya, Anda tidak tahu bagaimana kami menyelesaikan perselisihan di kampung ini. Kami menyelesaikan perselisihan kecil seperti ini dengan 'Aturan Tiga Tendangan'."
Pengacara tersebut bertanya, "Apa itu Aturan Tiga Tendangan?"
Petani tersebut menjawab, "Karena perselisihan terjadi di tanah saya, saya harus melakukannya terlebih dahulu. Saya menendang Anda tiga kali dan kemudian Anda menendang saya tiga kali dan seterusnya bolak-balik sampai salah satu menyerah."
Pengacara tersebut dengan cepat memikirkan aturan yang diajukan dan memutuskan bahwa dia dapat dengan mudah memenangkan pertandingan itu. Dia setuju untuk mematuhi adat setempat.
Petani tua itu perlahan mendekat dan langsung menemui sang pengacara. Tendangan pertamanya, sepatu botnya yang berat masuk ke dalam pangkal paha pengacara dan membuat pengacara tidak bisa berdiri!
Tendangan kedua tepat di perut dan mengirim makanan terakhir yang dimakan pengacara itu keluar dari mulutnya.
Pengacara itu berada di posisi hendak berdiri saat tendangan ketiga petani menghujam ke wajahnya sampai mulutnya keluar darah segar. Akhirnya, dengan tenaga yang tersisa, si pengacara berusaha untuk berdiri.
Sambil mengusap wajahnya dengan lengan bajunya, dia berkata, "Baiklah, Pak Tua. Sekarang giliranku."
Petani tua itu tersenyum dan berkata, "Nah, saya menyerah, Anda bisa mendapatkan burungnya."
Si pengacara menjawab, "Saya menembak seekor burung dan terjatuh di ladang ini, dan sekarang saya akan mengambilnya kembali."
Petani tua itu menjawab, "Ini ladang milik saya, dan Anda tidak boleh masuk ke sini."
Pengacara yang marah itu berkata, "Saya adalah salah satu pengacara terbaik di Indonesia, dan jika Anda tidak membiarkan saya mendapatkan burung itu, saya akan menuntut Anda dan mengambil semua yang Anda miliki."
Petani tua itu tersenyum dan berkata, "Rupanya, Anda tidak tahu bagaimana kami menyelesaikan perselisihan di kampung ini. Kami menyelesaikan perselisihan kecil seperti ini dengan 'Aturan Tiga Tendangan'."
Pengacara tersebut bertanya, "Apa itu Aturan Tiga Tendangan?"
Petani tersebut menjawab, "Karena perselisihan terjadi di tanah saya, saya harus melakukannya terlebih dahulu. Saya menendang Anda tiga kali dan kemudian Anda menendang saya tiga kali dan seterusnya bolak-balik sampai salah satu menyerah."
Pengacara tersebut dengan cepat memikirkan aturan yang diajukan dan memutuskan bahwa dia dapat dengan mudah memenangkan pertandingan itu. Dia setuju untuk mematuhi adat setempat.
Petani tua itu perlahan mendekat dan langsung menemui sang pengacara. Tendangan pertamanya, sepatu botnya yang berat masuk ke dalam pangkal paha pengacara dan membuat pengacara tidak bisa berdiri!
Tendangan kedua tepat di perut dan mengirim makanan terakhir yang dimakan pengacara itu keluar dari mulutnya.
Pengacara itu berada di posisi hendak berdiri saat tendangan ketiga petani menghujam ke wajahnya sampai mulutnya keluar darah segar. Akhirnya, dengan tenaga yang tersisa, si pengacara berusaha untuk berdiri.
Sambil mengusap wajahnya dengan lengan bajunya, dia berkata, "Baiklah, Pak Tua. Sekarang giliranku."
Petani tua itu tersenyum dan berkata, "Nah, saya menyerah, Anda bisa mendapatkan burungnya."