Berjanji Tidak Akan Berpisah
Adik bungsuku berpacaran dengan ceweknya sudah lebih dari 2 tahun lamanya, hubungan mereka masih termasuk baik, hanya tabiatnya sama-sama kaku dan sama-sama kerasnya, asalkan terjadi kontradiksi di antara mereka siapa pun takkan mengalah.
Berhubung terkungkung oleh wataknya ini, maka percekcokan di antara mereka berdua tak pernah berhenti. Walaupun setiap kali bercekcok bukan karena urusan yang besar, tetapi begitu mereka marah, kemungkinan saling menyerang bahkan mengatakan akan berpisah besar sekali. Dan setiap kali mereka habis mengatakan akan berpisah, biasanya masing-masing merasa menyesal, lalu paling lama 2 hari mereka kompromi dan merekat kembali.
Menghadapi hal demikian, Ibuku mengingatkan adikku: "Kamu dan cewekmu umurnya sudah tak kecil lagi, selanjutnya bila menghadapi kontradiksi, pecahkanlah kontradiksi itu di situ juga dengan cara berkonsultasi, jangan sedikit-sedikit mengatakan akan berpisah. Kamu harus tahu, perkataan ini selain bisa melukai hubungan kalian, juga akan membuat diriku cemas, sungguh-sungguh tak ada artinya." Setelah mendengar nasehat Ibu, adikku itu tak berkata apa pun, hanya mengangguk-angguk.
Sekejap mata telah lewat beberapa bulan. Sesuatu yang membuat aku merasa terhibur ialah sejak saat itu bila terjadi percekcokan tak lagi terdengar mereka mengatakan akan berpisah seperti dulu. Hari itu aku berkata kepada adikku: "Rupanya omongan Ibu sedikit banyak telah mempengaruhi tindakanmu. Meskipun kalian kadang-kadang masih bercekcok juga, tetapi tidak lagi mengatakan akan berpisah, menunjukkan ada kemajuan."
Adikku berkata sambil tersenyum: "Kami tak lagi mengatakan akan berpisah sebenarnya bukan karena dipengaruhi oleh nasehat Ibu, melainkan karena aku dan cewekku telah membuat suatu perjanjian, justru perjanjian itulah yang mempengaruhi kelakuan kami sendiri."
Mendengar omongan adikku ini, aku menanya dengan menduga-duga: "Isi perjanjian kalian apa ada kaitannya dengan siapapun takkan mengatakan akan berpisah?"
Dengan menggeleng-gelengkan kepalanya adikku berkata: "Bukan. Isinya ialah: siapa yang berkata akan berpisah lebih dulu, maka ia akan dikenai denda Rp. 150.000.-"
Berhubung terkungkung oleh wataknya ini, maka percekcokan di antara mereka berdua tak pernah berhenti. Walaupun setiap kali bercekcok bukan karena urusan yang besar, tetapi begitu mereka marah, kemungkinan saling menyerang bahkan mengatakan akan berpisah besar sekali. Dan setiap kali mereka habis mengatakan akan berpisah, biasanya masing-masing merasa menyesal, lalu paling lama 2 hari mereka kompromi dan merekat kembali.
Menghadapi hal demikian, Ibuku mengingatkan adikku: "Kamu dan cewekmu umurnya sudah tak kecil lagi, selanjutnya bila menghadapi kontradiksi, pecahkanlah kontradiksi itu di situ juga dengan cara berkonsultasi, jangan sedikit-sedikit mengatakan akan berpisah. Kamu harus tahu, perkataan ini selain bisa melukai hubungan kalian, juga akan membuat diriku cemas, sungguh-sungguh tak ada artinya." Setelah mendengar nasehat Ibu, adikku itu tak berkata apa pun, hanya mengangguk-angguk.
Sekejap mata telah lewat beberapa bulan. Sesuatu yang membuat aku merasa terhibur ialah sejak saat itu bila terjadi percekcokan tak lagi terdengar mereka mengatakan akan berpisah seperti dulu. Hari itu aku berkata kepada adikku: "Rupanya omongan Ibu sedikit banyak telah mempengaruhi tindakanmu. Meskipun kalian kadang-kadang masih bercekcok juga, tetapi tidak lagi mengatakan akan berpisah, menunjukkan ada kemajuan."
Adikku berkata sambil tersenyum: "Kami tak lagi mengatakan akan berpisah sebenarnya bukan karena dipengaruhi oleh nasehat Ibu, melainkan karena aku dan cewekku telah membuat suatu perjanjian, justru perjanjian itulah yang mempengaruhi kelakuan kami sendiri."
Mendengar omongan adikku ini, aku menanya dengan menduga-duga: "Isi perjanjian kalian apa ada kaitannya dengan siapapun takkan mengatakan akan berpisah?"
Dengan menggeleng-gelengkan kepalanya adikku berkata: "Bukan. Isinya ialah: siapa yang berkata akan berpisah lebih dulu, maka ia akan dikenai denda Rp. 150.000.-"